Silampukau : Menyingkap Balada Harian Kota Surabaya, Dari Dolly Hingga Bianglala

10:38 AM



Hidup di kota yang identik dengan makian, tidak membuat sisi romantis gagap disuarakan. Melalui lirik dengan diksi jadul serta mengangkat keseharian dalam rekam jujur, Silampukau lahir menyajikan pentas realita kehidupan dan cinta yang beda di Kota Surabaya.

-
Awalnya saya tahu Silampukau lewat salah satu acara talkshow di TV. Kala itu, mereka tampil membawakan lagu "Doa 1" yang merupakan salah satu lagu dari album pertama mereka berjudul Dosa, Kota dan Kenangan. Mereka mengangkat harapan dan nasib seorang musisi yang lalu diadukan kepada Tuhan, dalam lagu tersebut.

Pun demikian, lagu "Doa 1" seakan membawa pendengar ikut merasakan hidup menjadi seorang musisi di masa-masa awal berjuang, sebelum kaya raya dan banyak uang. Lagu ini juga mengena untuk orang yang dulunya ingin hidup dari musik, ingin menjadi musisi. Seperti penggalan liriknya ini :

Duh Gusti, aku kesasar di jalur indie.
Terima sablon kaos dan kadang gantungan kunci.
Musisi, Gusti, musisi,
Bukan jadi penjaga distro kayak gini.

Duh Gusti, pernah ‘ku mencoba peruntungan,
Dana pas-pasan pokoknya bikin rekaman.
Kuliah, Gusti, kutelantarkan
Atas nama musik dan hidup yang penuh kebebasan.

-
Silampukau merupakan kata dari bahasa melayu kuno yang berarti burung kepodang. Dalam penuturannya pada sebuah interview oleh kanaltigapuluh, Eki Tresnowing -salah satu personal Silampukau- menjabarkan alasannya memilih kata tersebut, "Kami pilih silampukau yang berarti burung kepodang karena menurut kami burung kepodang adalah salah satu burung yang bernyanyi dan  kebetulan  juga bagus, Silampukau."

Musik folk yang mereka yang angkat agaknya memang sangat familiar kini. Tentu, kita sering mendengar musik-musik dari band atau grup lain yang juga mengangkat payung musik yang sama, seperti, Dialog Dini Hari, Float, hingga Stars and Rabbit. Ketiganya memiliki komponen kuat yang disajikan dalam konsep bermusiknya. Tapi, unik adalah salah satu kekuatan Silampukau untuk bisa menjadi pembeda.

Cinta yang berbeda disajikan Silampukau pada album Dosa, Kota dan Kenangan. Kebanyakan lagu berisi tentang romantisme kehidupan di Surabaya yang mereka tulis menggunakan diksi tahun 40-an, seperti; puan, kembara, lingsir, dan caracau. Dengan itu, identitas Silampukau pun kian memukau. 

Lewat Kharis Junandharu -salah satu personil duo folk ini- mereka menjabarkan alasan pemilihan diksi-diksi tersebut, "Iya, kami mempertimbangkan secara estetik kenapa seperti  itu , kenapa album ini disebut kenangan karena memang kita sengaja memilih diksi- diksi yang nostalgis, jadi menurut kami itu akan membuat rentang waktu cerita- cerita di album ini lebih panjang. Lagipula, kami memang sengaja ingin bermain – main dengan stilistika kanon Kesusasteraan Indonesia, sembari bertanya – tanya ke diri sendiri, apakah masih mungkin untuk memakai diksi – diksi yang sudah termuseumkan itu di periode “alay” ini." Seperti yang dikutip dari kanaltigapuluh.

Musisi-musisi folk sekarang memang agak seragam. Tema yang diangkat tidak bisa jauh dari poros kisah percintaan sepasang kekasih. Tanpa mengurangi rasa hormat, dulu, di era 90'an musik folk disajikan dengan kesan yang melekat pada genre tersebut -jalanan- dan dibawakan dengan lirik penuh kritis oleh Iwan Fals.


-
Saya pikir, Silampukau hadir untuk membawa kembali era tersebut. Lewat lagu "Bola Raya" mereka mencoba mengkritisi kemajuan yang terjadi di kota-kota besar, terutama di Surabaya. Dimana banyak anak mengganti tanah lapang dengan jalan aspal untuk bermain bola. Dan kondisi seperti itu menjadi pemandangan sehari-hari di Surabaya.

Kami rindu lapangan yang hijau.
Harus sewa dengan harga tak terjangkau.
Tanah lapang kami berganti gedung.
Mereka ambil untung, kami yang buntung.

Kami hanya main bola,
tak pernah ganggu gedungmu.
Kami hanya main bola,
persetan dengan gedungmu.


"Dosa" yang mereka pilih sebagai kata awal di album pertamanya, benar-benar hidup lewat lagu berjudul Si Pelanggan. Masalah yang begitu kompleks terjadi di kawasan lokalisasi terbesar se-Asia Tenggara, dolly, mereka singkap dengan jujur juga jenaka pada lagu tersebut.

Dolly, suaka bagi hati yang terluka
oleh cinta, oleh seluruh nelangsa
hidup yang celaka.

Dolly, tempat mentari sengaja ditunda,
di mana cinta tak musti merana
dan banyak biaya.


Hidup di Surabaya dan memilih jalur musik sebagai wadah berkarya tak membuat Silampukau lantas mengagung-agungkan Kota Surabaya dalam setiap karyanya. Mereka hanya mencoba bertutur jujur sesuai apa yang ditangkap indera mereka. Kehidupan kota yang resah, riuh, dan padat mereka rangkum dalam lagu berjudul Malam Jatuh di Surabaya. Liriknya sangat mengena, Kota Surabaya memang seakan tergesa-gesa, tak peduli Maghrib atau hal penting lainnya. 

Maghrib mengambang lirih dan terabaikan,
Tuhan kalah di riuh jalan.
Orkes jahanam mesin dan umpatan,
malam jatuh di Surabaya.

Romantisme yang berbeda tersebut ditawarkan Silampukau lewat lagu berjudul "Puan Kelana." dan "Bianglala." Menggambarkan keindahan kota lewat hiburan merakyat serta hujan yang sama menakjubkannya di Paris atau tiap sudut Surabaya.

Kenangan-kenangan indah akan Taman Remaja Surabaya mereka hidupkan kembali lewat lagu Bianglala. Salah satu hiburan yang mengiringi masa kecil saya.

-
Selamat! Bagi saya dan orang Surabaya lainnya karena kita punya jagoan baru yang bisa dibanggakan selain bu Risma, Silampukau namanya.

---

Source gambar : 

Silampukau.com
Sorgemagz.com

You Might Also Like

0 komentar

Pembaca

Flag Counter

Teman